Proses pengangkutan sedimen (sediment transport) dapat diuraikan meliputi tiga proses sebagai berikut : Pukulan air hujan (rainfall detachment), terhadap bahan sedimen yang terdapat diatas tanah sebagai hasil dari erosi percikan (splash erosion) dapat menggerakkan partikel-partikel tanah tersebut dan akan terangkut bersama-sama limpasan permukaan (overland flow). Selanjutnya dihanyutkan masuk kedalam alur-alur (rills), dan seterusnya masuk kedalam selokan dan akhirnya ke sungai.
Terjadi proses pengendapan sedimen, terjadi pada saat kecepatan aliran yang dapat mengangkat (pick up velocity) dan mengangkut bahan sedimen mencapai kecepatan pengendapan (settling velocity) yang dipengaruhi oleh besarnya partikel-partikel sedimen dan kecepatan aliran. Perhitungan Nisbah Pelepasan Sedimen (Sediment Delivery Ratio) atau cukup dikenal dengan SDR adalah perhitungan untuk memperkirakan besarnya hasil sedimen dari suatu daerah tangkapan air.
Perhitungan besarnya SDR dianggap penting dalam menentukan prakiraan yang realistis besarnya hasil sedimen total berdasarkan perhitungan erosi total yang berlangsung di daerah tangkapan air. Perhitungan ini tergantung dari faktorfaktor yang mempengaruhi , hubungan antara besarnya hasil sedimen dan besarnya erosi total yang berlangsung di daerah tangkapan air umumnya bervariasi. Variabilitas angka SDR dari suatu DAS akan ditentukan : Sumber sedimen, jumlah sedimen, sistem transpor, Tekstur partikel-partikel tanah yang tererosi, lokasi deposisi sedimen dan karateristik DAS (Asdak C., 2007).
Pada suatu media, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang Adang Saff Ahmad pernah mengutarakan, akibat terjadinya bencana longsor Gunung Bawakaraeng yang terjadi pada tahun 2004 silam, telah menghasilkan material sedimentasi (lumpur) di Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang sebesar 230 juta/m3. Berbagai upaya pengendalian aliran material ini terus dilakukan, termasuk membangun titik- titik kantong pasir (sand pocket) untuk menahan aliran sedimentasi.
Keadaan sedimentasi pada DAS Jeneberang, diperoleh data yang menunjukkan Sub DAS Jeneberang Hilir (yang dilalui oleh Sungai Jeneberang) didapatkan berat lumpur/air sebesar 41.200 mg/liter (pada penelitian 20 November 1996). Kemudian Sub DAS Jenelata (yang dilalui oleh Sungai Jenelata) mempunyai sedimentasi dengan berat lumpur/air sebesar 132.800 mg/liter. Sedangkan pada penelitian tahap II (28 juli 2004) keadaan sedimentasi tertinggi terdapat pada Sub DAS Jeneberang Hilir sebesar 4.750.000 mg/liter, Sub DAS Jenelata sebesar 13.467 mg/liter.
Hal ini menunjukkan telah terjadi sedimentasi terparah dalam kurun waktu 11 tahun di Sub DAS Jeneberang Hilir. Tingkat bahaya erosi yang tergolong dalam kategori berat adalah untuk Sub DAS Jenelata seluas 9.535,56 Ha. Sedangkan pada Sub DAS wilayah Lengkese dan Malino, Gowa umumnya tergolong dalam kategori sedang dengan masing-masing luas 8.231,4 Ha dan 8.016,04 Ha. Pada Sub DAS Jeneberang Hilir dan Sub DAS Tallo, tingkat bahaya erosi umumnya tergolong kategori sangat ringan dengan masing-masing luas 22.370,98 Ha dan 18.525, 27 Ha.
Besarnya SDR dalam perhitungan-perhitungan erosi atau hasil sedimen untuk suatu daerah aliran sungai umumnya ditentukan dengan menggunakan grafik hubungan luas DAS dan besarnya SDR seperti dikemukakan oleh Roehl (1962) dalam Asdak C. (2007). Hubungan luas DAS dan besarnya SDR dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hubungan luas DAS dan Sediment Delivery Ratio (SDR)
Sedang cara lain untuk menentukan besarnya SDR adalah dengan menggunakan persamaan :
Sedang total sedimen yang diperbolehkan dalam suatu DAS adalah adalah hasil kali SDR dengan toleransi erosi untuk tanah, besarnya toleransi erosi untuk tanah menurut Thompson (1957) tergantung dari sifat tanah dan letaknya.